BELAJAR
BAHASA KEDUA DAN BILINGUALISME
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap bangsa di dunia
ini mempunyai bahasanya sendiri yang mewakili mereka. Sebagaimana yang
diketahui umum bahawa setiap bahasa yang mewakili mereka memiliki sejenis ragam
bahasa yang dikenal sebagai peribahasa atau dikenali sebagai kata orang tua-tua
yang merupakan warisan mereka yang masih kekal hingga ke hari ini.
Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering mendengarkan aneka ragam bahasa yang dihasilkan oleh
masyarakat setempat baik secara lisan maupun secara tertulis, dengan
implimentasi seperti ini, dapat kita jumpai bahwa aneka ragam bahasa yang
dihasilkan oleh masyarakat adalah bahasa yang pertama dan kedua.
Bahasa pertama
merupakan bahasa lisan yang pertama kali didengar oleh seseorang ketika ia
dilahirkan dari rahim ibunya hingga ia bisa berbicara dan menulis untuk tahap
hidup selanjutnya, sedangkan bahasa kedua merupakan bahasa yang dipelajari dan
dipahami dari lingkungan kehidupan nya.
Memandangkan pada
bahasa pertama dan kedua yang kita jumpai pada abad ke dua puluh ini sudah
dikenali oleh nenek moyang kita, oleh karena itulah unsur- unsur dan
fenomena alam semesta yang melinkungi kehidupaann mereka menjadi sumber ilham
untuk merangkaikan bahasa. Dan dari unsur – unsur itulah lahir dan timbulnya
bahasa pertama dan bahasa kedua.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu konsep belajar ?
2.
Apa itu belajar bahasa kedua ?
3.
Apa itu bilingualisme ?
4.
Bagaimana tinjauan historis pembelajaran
bahasa kedua ?
5.
Bagaimana pendekatan belajar bahasa
kedua ?
6.
Bagaimana metode penelitian dalam
akuisisi bahasa kedua?
7.
Apa saja factor yang mempengaruhi
keberhasilan pembelajaran bahasa kedua ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Belajar
Konsep belajar yang dimaksud adalah konsep belajar
berhubungan dengan linguistik. “belajar adalah proses menguasai atau memperoleh
pengetahuan atau keterampilan dalam bidang tertentu dengan jalan studi, mencari
pengalaman atau karena diajar.”
Belajar didefinisikan sebagai suatu. Belajar
bersifat aktifitas dan proses ini berada dalam kesadaran manusia. Itu sebabnya
ada orang yang mengatakan bahwa belajar adalah proses sadar yang merupakan
hasil dari pengajaran.
B.
Belajar
Bahasa Kedua
Yang dimaksud belajar bahasa kedua adalah proses
dimana seseorang mengakusisi sebuah bahasa lain setelah lebih dahulu menguasai
sampai batas tertentu bahasa pertamanya.
Bagi kondisi di Indonesia, kita perlu membedakan
istilah bahasa pertama (asli, ibu, utama/first language) yang terwujud bahasa
daerah tertentu. Bahasa kedua (second language) yang terwujud bahasa Indonesia
dan bahasa asing.
C.
Bilingualisme
Istilah bilingualisme lebih mengacu kepada suatu
kondisi daripada suatu proses. Jika si terdidik atau orang dewasa dapat
berbicara dan mengerti bahasa kedua, orang itu dapat kita katakan bilingual.
Bilingual lebih tertuju untuk kecakapan berbahasa tertentu. Bilingualisme dapat
juga ditafsirkan sebagai kecakapan dua bahasa. (Stern, 1983:14)
Hartley (1982:50) mengatakan bahwa bilingual adalah
kemampuan seseorang untuk menggunakan dua bahasa atau lebih. Biasanya kalau seseorang
menguasai lebih dari dua bahasa, digunakan istilah aneka bahasawan
(multilingual). Bilingual dapat pula ditekankan pada kebiasaan menggunalkan dua
bahasa dengan ciri menghasilkan ujaran-ujaran yang bermakna. Weinreich yang
dikutip Hartley (1982:51) menyatakan bilingual yang ideal adalah kemampuan alih
bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain berdasarkan perubahan situasi.
Misalnya kita berbicara dalam bahasa daerah kita sendiri, tiba-tiba muncul
seorang teman yang tidak mengeti bahasa daerah kita. Kita pun segera beralih
bahasa, dari bahasa yang digunakan tadi ke bahasa yang dimengerti teman yang
baru dating tadi. Peralihan bahasa begini biasanya digunakan istilah alih kode
(code switching). Peralihan kode ini memungkinkan karena kita menguasai bahasa
yang dimengerti teman yang datang. Seandainya orang yang datang itu orang
asing, kemungkinan besar kita tetap menggunakan bahasa daerah.
Kadang-kadang diantara dua bahasa yang dikuasai, ada
bahasa yang mendominasi. Dalam kaitan ini Weinreich (Hartley, 1982:51)
menawarkan kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat dominasi.
Kriteria dimaksud:
1. secara
relatif lancar.
2. Cara
menggunakan, lisan atau tertulis.
3. Urutan
dan umur akuisisi.
4. Kegunaannya
dalam komunikasi.
5. Keterlibatan
secara emosional.
6. Fungsinya
dalam tingkat social.
7. Nilai
budaya yang berkaitan dengan sastra.
Di samping
pengertian bilingualisme yang ditandai oleh kemampuan seseorang dapat
beralih bahasa, terdapat pula istilah bilingualisme koordinasi (co-ordinate
bilingualism) yang berarti seseorang dapat menggunakan dua bahasa dalam situasi
yang berbeda, bukan karena alih kode. Misalnya kita menggunakan bahasa daerah
dirumah. Tetapi apabila kita berada di kereta api, kita akan menggunakan bahasa
Indonesia. Lain dari itu bisa terjadi seseorang menguasai bahasa ibunya sejak
kecil, dan setelah mengikuti pendidikan, ia memperoleh tambahan pengetahuan
tentang bahasa lain. Situasi seperti ini disebut bilingual yang majemuk
(compound bilingual).
Bilingual yang majemuk terdapat di Indonesia.
Seperti diketahui sejak kecil kita menguasai bahasa daerah tertentu. Setelah
kita bersekolah kita mendapat pengetahuan tentang bahasa Indonesia. Dapatlah
dikatakan bahwa bahasa Indonesia telah mendominasi komunikasi dalam kehidupan
sehari-hari. Kadang-kadang terjadi, kita menggunakan bahasa Indonesia yang
bercampur dengan kata-kata bahasa daerah ataupun sebaliknya. Hal seperti ini
membawa kepada variasi bahasa yang disebut bahasa pijin . pengaruh bahasa yang dikuasai terhadap bahasa yang sedang
dipelajari sangat kuat. Pengaruh itu sangat terasa apabila seseorang sedang
berbicara. Dari performansinya itu, kita dapat menduga asal daerah pembicara.
Ketika kita mempraktekan kemampuan berbahasa lebih
dari satu ini, gejala pengaruh yang disebut borrowing
dan interferensi tidak dapat
dihindari. Sadar atau tidak, kadang-kadang kita menggunakan kata yang tidak
berasal dari bahasa kita. Kata-kata itu biasa disebut kata pinjaman atau kata
serapan. Kata serapan yang kita gunakan dapat diklasifikasikan menjadi
tiga, yakni :
a. Pinjam
utuh (loanword), yakni kata yang
secara utuh diserap, baik bentuk maupun makna, mislanya kata-kata koperasi,
demokrasi, figur.
b. Pinjam
bagian (loanblend), yakni bagian kata
itu sebagiannya diserap dan sebagian masih tetap bahasa sendiri, sedangkan
maknanya diserap, misalnya kata mengoksidasi dari kata oxidatie.
c. Pinjam
terjemah (loanshift), yakni bentuknya
kata bahasa sendiri sedangkan maknanya diserap, misalnya kata canggih untuk sophisticate (Bolinger, 1975:421).
Telah disinggung di atas bahwa bahasa pertama
berpengaruh pada proses belajar bahasa kedua. Krashen (1981:65-67) menyebut
tiga macam pengaruh, yakni:
1. Pengaruh
pada urutan kata dank arena proses menerjemahkan. Hal ini dapat dirasakan
ketika untuk pertama kali kita membuat kalimat dalam bahasa Inggris. Kalimat
bahasa Inggris kita urutkan seperti urutan bahasa Indonesia, sehingga kalimat
tadi menjadi kalimat Inggris yang keindonesia-indonesiaan. Bukti tentang hal
ini telah dilaporkan oleh para peneliti, misalnya Duskova (1969) yang
mengadakan penelitian tentang kesalahan menulis pada mahasiswa pascasarjana
Cekoslowakia, dan LoCoco (1975) yang mengadakan penelitian tentang mahasiswa
Amerika yang mempelajari bahasa Spanyol dan Jerman (Krashen, 1981:65). Kedua
penelitian ini melaporkan bahwa terdapat bukti pengaruh bahasa ibu terhadap
bahasa yang sedang dipelajari.
2. Pengaruh
pada morrfem terikat.
Duskova (1969) yang
dikutip oleh Krashen (1981:66) di atas, melaporkan bahwa terdapat pengaruh pada
morfem terikat pada bahasa yang dipelajari. Pengaruh ini, misalnya penghilangan
penanda jamak pada bentuk jamak, penghilangan kecocokan subjek-kata kerja dan
kecocokan antara kata benda-kata sifat. Misalnya 5 books, ditulis 5 book, he writes ditulis he write.
3. Bahasa
pertama rasanya berpengaruh pada lingkungan akuisisi yang lemah. Maksudnya
pengaruh itu jarang pada akuisisi bahasa kedua anak-anak.
Seperti telah disinggung di atas persoalan
kedwibahasaan (bilingual) tidak mengherankan, bahkan sekarang kira-kira 60%
penduduk dunia adalah multibahasawan (multilingual) (Richard & Rogers,
1986, yang dikutip oleh Sadtono, 1987:1). Oleh karena itu persoalan
kedwibahasawan di Indonesia merupakan hala yang wajar. Yang perlu dipikirkan
yakni bagaimanakah caranya agar pengaruh bahasa ibu tidak nampak dalam tuturan bahasa kedua, bahasa Indonesia.
Selanjutnya yang betul-betul diupayakan yakni bagaimanakah caranya agar si
terdidik dengan mudah dan cepat dapat menguasai yang pada akhirnya dapat
menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan kaidahnya. Di sini
peranan psikolinguistik tidak boleh diabaikan di samping linguistik terapan.
Psikolinguistik telah mengakibatkan telaah-telaah baru dalam proses belajar
bahasa yang dilihat dari psikologi. Dalam hubungan dengan kedwibahasaan,
sumbangan yang dapat diberikan oleh psikolinguistik adalah soal akuisisi yang
membahas bagaimanakah caranya agar si terdidik dapat dengan mudah dan cepat
menguasai dan menggunakan bahasa yang dipelajari.
D.
Tinjauan
Historis
Usaha pembaharuan pengajaran bahasa kedua (di sini
dimasukkan pula bahasa asing) muncul akibat keberhasilan tentara AS pada Perang
Dunia II yang dalam waktu singkat dapat mengajarkan bahasa yang lain kepada
tentara dalam jumlah yang banyak. Dalam A
Survey of Language Classes in the Army Specialized Training Program-Prepared
for the Comission on Trends in Education of the Modern Language Association of
America (Wojowasito, 1975:1) dibicarakan secara singkat tujuan-tujuan,
metodologi, organisasi dan hasil-hasil 427 kelas yang mempelajari 17 bahasa dan
diikuti oleh 15.000 tentara dan mahasiswa.
Di dalam kursus itu dirumuskan
tujuan pengajaran, yakni dapat berbicara satu bahasa asing atau lebih, mengenal
daerah tempat bahasa-bahasa tersebut digunakan, dan memiliki pengetahuan
tentang unsur-unsur yang menguntungkan atau membahayakan hubungan/relasi antara
tentara dan rakyat yang bergaul dengan rakyat tersebut (Wojowasito, 1975:2).
Laporan-laporan menunjukkan bahwa program ini berhasil baik.
Akhir abad XIX timbul gerakan
pembaharuan dalam pengajaran. Masyarakat menginginkan agar mereka dapat
berbicara dalam bahasa kedua (bahasa asing). Muncullah gagasan para ahli pengajaran
bahasa asing seperti C. Marcel (1793-1896) dan F. Gouin (1831-1896) keduanya
dari Perancis, dan T. Prendergast (1806-1886) dari Inggris. Menurut mereka
belajar bahasa asing harus mencontoh cara anak kecil belajar bahasanya sendiri.
Mereka mengusulkan agar belajar membaca didahulukan dari belajar keterampilan
yang lain (Sadtono, 1987:4).
Pada tahun 1886 didirikan
Perhimpunan Fonetik Internasional (The
Internasional Phonetic Association).
Perhimpunan ini menyatakan :
1. Studi
tentang bahasa lisan.
2. Pelajaran
dan latihan fonetik diberikan kepada para siswa agar mereka memiliki kebiasaan
ucapan yang baik.
3. Pemaikan
teks percakapan dan dialog untuk memperkenalkan frase dan ungkapan yang biasa
dipakai dalam percakapan.
4. Pendekatan
induktif supaya dipakai dalam mengajarkan tata bahasa.
5. Mengajarkan
kosakat baru dan maknanya langsung dengan memakai bahasa sasaran dan tidak
memakai terjemahan.
Tersirat di sini bahwa untuk belajar bahasa kedua
atau asing, penguasaan terhadap bunyi bahasa, kosakata, dan kaidah penting
sekali. Seperti telah dikemukakan, pada awal kelahirannya bayi hanya mendengar
bunyi yang berangkai-rangkai. Bunyi-bunyi itu didengarnya berulang-ulang.
Ketika ia mendengar bunyi sekaligus ia beroleh pengalaman yang ditunjukkan oleh
bunyi. Misalnya, ibu berkata b..u..b..u..r,
si bayi mendengar bunyi dan sekaligus melihat benda yang disebut bubur itu.
Lama-kelamaan ia memahami bahwa bunyi bubur adalah benda yang ia lihat, yakni
bubur. Itu sebabnya perhimpunan di atas sangat mementikan pula bahasa lisan.
Hal itu tentu bertitik tolak dari kenyataan. Kenyataan manusia selalu
menggunakan bahasa lisan. Kenyataan itu pun mendorong kita untuk lebih dahulu
menguasai keterampilan berbahasa lisan. Dengan kata lain keterampilan berbicara
yang dipentingkan.
Para ahli berpendapat bahwa pengajaran bahasa
harus didasarkan pada analisis bahasa
secara ilmiah dan dengan bantuan disiplin ilmu yang lain, misalnya psikologi.
Salah seorang sarjana yang berpendapat demikian adalah Henry Sweet (1845-1912).
Metode pengajaran berdasarkan kajian ilmiah di atas membuka kemungkinan baru dalam
belajar bahasa secara baru, yakni belajar bahasa secara alamiah. Metode
pengajarannya disebut metode alamiah (natural
method) yang kemudian berkembang menjadi metode langsung (direct method). Penganjur metode alamiah
ini antara lain Gouin (1831-1896) dan L. Saveur (1826-1907). Belajar secara
alamiah ini caranya, si terdidik diajak berbicara dalam bahasa kedua dengan
jalan menjawab pertayaan sehingga si terdidik aktif berbicara.
E.
Pendekatan
Belajar Bahasa Kedua
Hakuta dan Cancino (1977) yang dikutip oleh Hamled
(1987:28) membedakan 4 pendekatan agar proses belajar bahasa kedua berhasil.
Pendekatan dimaksud adalah :
1. Analisis
Kontrastif dilaksanakan dengan cara membandingkan secara sistematis ciri-ciri linguistik
yang spesifik pada dua bahasa atau lebih. Pendekatan analisis kontrastif
membandingkan persamaan dan perbedaan yang terdapat di antara dua bahasa atau
lebih yang dikontraskan. Analisis kontrastif muncul karena adanya kenyataan si
terdidik yang mempelajari bahasa yang bukan bahasa ibunya. Para penganut
analisis kontrastif mengasumsikan bahwa bahasa ibu mempengaruhi si terdidik
ketika ia mempelajari bahasa kedua (Wilkins, 1972:197).
2. Analisis
kesalahan adalah memusatkan perhatian pada proses belajar bahasa kedua.
Analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk mengidentifikasikan,
mengklasifikasikan dan menginterpretasikan secara sistematis
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh si terdidik yang sedang belajar bahasa
asing atau bahasa kedua dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur
berdasarkan linguistic (Ruru dan Ruru,1985:2).
3. Analisis
perfomansi adalah memusatkan perhatian pada tingkah laku belajar bahasa kedua
secara keseluruhan. Pendekatannya bersifat procedural dengan mengajukan
pertanyaan, misalnya apa yang boleh dan yang tidak boleh diperbuat oleh si
terdidik yang belajar bahasa kedua.
4. Analisis
wacana adalah memusatkan perhatian pada penggunaan bahasa dalam percakapan.
Dalam percakapan , bukan kalimat yang dianggap sebagai satuan tertinggi, tetapi
wacana, yakni satuan-satuan berupa kalimat yang secara koherensif berisi suatu
pesan inti dan beberapa pesan peripheral.
F.
Metode
Penelitian dalam Akuisisi Bahasa Kedua
Banyak
cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan penelitian tentang proses akuisisi
yang terjadi pada anak-anak. Salah satu cara yang dapat digunakan, yakni
mengadakan observasi dengan jalan menggunakan buku catatan harian (diary method) metode ini digunakan untuk anak-anak yang
sejak kecil telah hidup dalam dua lingkungan bahasa yang berbeda. Metode ini banyak digunakan pada anak-anak
karena ujaran mereka masih sederhana dan tiruan bunyi bahasa yang mereka
lakukan masih bisa dibentuk.
G.
Factor
yang Mempengaruhi Pembelajaran Bahasa Kedua
1. Faktor
Usia
Faktor usia memberikan pengaruh berbeda
pada fungsi otak dalam menyerap bahasa kedua. Sejumlah penelitian
membuktikan anak-anak lebih mudah menyerap bahasa kedua karena memiliki daya
plastisitas otak yang baik; di mana mereka mampu menyesuaikan perbedaan bahasa
dengan cepat. Namun, penelitian lainnya menyebutkan bahwa orang dewasa
mampu menyerap pelajaran bahasa asing lebih cepat dikarenakan kapasitas pembelajaran,
termasuk daya hafal kosakata yang lebih banyak. Selain itu orang dewasa
juga memiliki daya analisis yang kuat terhadap tata bahasa asing.
2. Jenis
Kelamin
Perbedaan dalam jenis kelamin
berhubungan dengan kadar hormon pada masing-masing jenis kelamin. Kimura
menemukan tingkat hormon androgen yang tinggi berhubungan dengan kemampuan
automasi yang lebih baik, dan hormon estrogen dengan kemampuan semantik/
interpretif yang lebih baik. Selain itu, ia juga menemukan bahwa wanita
pada masa menstruasi cenderung memiliki kemampuan artikulasi dan motoris yang
lebih baik.
3. Motivasi
Di dalam otak manusia terdapat area
spesifik yang menerima stimulus dari dorongan diri atau disebut
motivasi. Dan stimulus tersebut memberikan pesan kepada otak untuk
menentukan strategi belajar dan jumlah usaha yang dikeluarkan. Jenis
motivasi ada dua: motivasi integratif dan instrumental. Motivasi
integratif adalah motivasi yang berdasarkan keinginan untuk bersosialisasi
atau berpartisipasi dengan komunitas yang menggunakan bahasa tersebut. Motivasi
instrumental adalah motivasi yang didasari atas kepentingan praktis semata
seperti mendapatkan pekerjaan, mendapatkan beasiswa ke luar negeri, akses
informasi, dan lain-lain.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Ø Konsep
Belajar yang dimaksud adalah konsep belajar berhubungan dengan linguistik.
“belajar adalah proses menguasai atau memperoleh pengetahuan atau keterampilan
dalam bidang tertentu dengan jalan studi, mencari pengalaman atau karena
diajar.”
Ø Belajar
Bahasa Kedua : Yang dimaksud belajar bahasa kedua adalah proses dimana
seseorang mengakusisi sebuah bahasa lain setelah lebih dahulu menguasai sampai
batas tertentu bahasa pertamanya.
Ø Istilah
bilingualisme lebih mengacu kepada suatu kondisi daripada suatu proses. Jika si
terdidik atau orang dewasa dapat berbicara dan mengerti bahasa kedua, orang itu
dapat kita katakan bilingual. Bilingual lebih tertuju untuk kecakapan berbahasa
tertentu. Bilingualisme dapat juga ditafsirkan sebagai kecakapan dua bahasa.
Ø Usaha
pembaharuan pengajaran bahasa kedua (di sini dimasukkan pula bahasa asing)
muncul akibat keberhasilan tentara AS pada Perang Dunia II yang dalam waktu
singkat dapat mengajarkan bahasa yang lain kepada tentara dalam jumlah yang
banyak.
Ø Hakuta
dan Cancino (1977) yang dikutip oleh Hamled (1987:28) membedakan 4 pendekatan
agar proses belajar bahasa kedua berhasil. Pendekatan dimaksud adalah analisis
kontrastif, analisis kesalahan, analisis perfomansi dan analisis wacana.
Ø Metode Penelitian dalam Akuisisi Bahasa Kedua
: Banyak cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan penelitian tentang proses
akuisisi yang terjadi pada anak-anak. Salah satu cara yang dapat digunakan,
yakni mengadakan observasi dengan jalan menggunakan buku catatan harian (diary method) metode ini digunakan untuk anak-anak yang
sejak kecil telah hidup dalam dua lingkungan bahasa yang berbeda.
Ø Factor
yang mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua yaitu factor usia, factor jenis
kelamin, dan factor motivasi.
B. Saran
Demikianlah makalah
yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan
makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik
dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Saville-Troike, Muriel.
2009. Introducing Second Language
Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.
Gass, M. Susan, Larry
Selinker. 2008. Second Language
Acquisition: An Introductory Course. Taylor and Francis Publisher.
Ellis, Rod. 1994. The Study of Second Language Acquisition.
Oxford University Press