Monday, 4 April 2016

BAHASA DALAM MASYARAKAT


A.    Bahasa dan Tutur
Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti.
Menurut Ferdinand de Saussure bahasa(language) merupakan sistem lambang bunyi yang digunakan sekelompok anggota masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya. Sedangkan menurut kamus Linguistik dikatakan bahwa bahasa(Language) adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.
Menurut Wibowo (2009 :3) Bahasa adalah suatu sistem symbol bunyi yang bermakna yang berarti kualisi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konfensional yang dipakai sebagai alat komunikasi oleh sekelompok orang untuk melahirkan perasaan dan fikiran.
Dari pengertian bahasa menurut para ahli dan kamus linguistik, dapat simpulkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi penghubung antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok begitu juga sebaliknya.


B.     Verbal Repertoire
      Verbal repertoire ialah semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur.
Verbal repertoire sebenarnya  dibagi menjadi 2 macam yaitu :
1.      Yang dimiliki penutur secara individual.
Maksudnya  penutur secara individual mengacu pada alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya.
2.      Yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan.
Mengacu kepada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam masyarakat, eserta dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
Verbal repertoire setiap penutur ditentukan oleh masyarakat dimana dia berada. Sedangkan verbal repertoire suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoire semua penutur di dalam masyarakat.
C.     Masyarakat Tutur
Kalau suatu kelompok atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma norma pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu, maka dapat dikatakan kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur (inggris:speech community). Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk bentuk bahasa.
Fishman (1976:28) menyebut “ masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaanya ”. kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang.
Bahasa mengenal masyarakat tutur sebenarnya sangat beragam, yang barang kali antara satu dengan yang lain agak sukar ubtuk di pertemukan. Bloomfield (1933:29) membatasi dengan “ sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama “. Batasan Bloomfield ini dianggap terlalu sempit oleh para ahli sosiolinguistik sebab, terutama dalam masyarakat modern banyak orang yang menguasai lebih dari satu ragam bahasa.
Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga di peroleh secara referensial. Yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti integrasi dalam sebuah wadah yang disebut negara, bangsa, atau daerah. Jadi, mungkin saja suatu wadah negara, bangsa, atau daerah membentuk suatu masyarakat tutur dalam pengertian simbolik itu. Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungan dengan variasi kebahasaan.
Masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan  kelompok orang yang mempunyai norma yang sama  dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Untuk dapat disebut sebagai satu masyarakat tutur adalah adanya perasaan di antara para penuturnya bahwa mereka merasa menggunakan tuturan yang sama (Djokokentjono 1982). Dengan konsep adanya perasaan menggunakan tutur yang sama, maka dua buah dialek yang secara linguistik merupakan satu bahasa dianggap menjadi dua buah bahasa dari dua masyarakat tutur yang berbeda. Ciri khas bahasa seseorang disebut idiolek, sedangkan kumpulan idiolek dalam sebuah bahasa disebut dialek.Variasi yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek social atau sosiolek.
Dilihat dari senoit verbal repertoirnya dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur yaitu, (1) masyarakat tutur repertoire pemakainya lebih luas, dan menunjukan verbal repertoire setiap penutur lebih luas pula, (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukan pemilikan wilayah linguistic yang sempit, termasuk juga perbedaan variasi. Hanya seperti dikatakan Fishman (1973:33) dan juga Gumperz (1964:37-53) masyarakat modern mempunyai kecenderungan menggunakan bahasa variasi dalam bahasa yang sama sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor kultural.




DAFTAR PUSTAKA

Nababan, P.W.J, Sosiolinguistik: Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia, 1984.
Chaer Abdul, Agustina leoni, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004.




MAKALAH PSIKOLINGUISTIK Tentang BELAJAR BAHASA KEDUA DAN BILINGUALISME

BELAJAR BAHASA KEDUA DAN BILINGUALISME
  
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap bangsa di dunia ini mempunyai bahasanya sendiri yang mewakili mereka. Sebagaimana yang diketahui umum bahawa setiap bahasa yang mewakili mereka memiliki sejenis ragam bahasa yang dikenal sebagai peribahasa atau dikenali sebagai kata orang tua-tua yang merupakan warisan mereka yang masih kekal hingga ke hari ini.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengarkan aneka ragam bahasa yang dihasilkan oleh masyarakat setempat baik secara lisan maupun secara tertulis, dengan implimentasi seperti ini, dapat kita jumpai bahwa aneka ragam bahasa yang dihasilkan oleh masyarakat adalah bahasa yang pertama dan kedua.
Bahasa pertama merupakan bahasa lisan yang pertama kali didengar oleh seseorang ketika ia dilahirkan dari rahim ibunya hingga ia bisa berbicara dan menulis untuk tahap hidup selanjutnya, sedangkan bahasa kedua merupakan bahasa yang dipelajari dan dipahami dari lingkungan kehidupan nya.
Memandangkan pada bahasa pertama dan kedua yang kita jumpai pada abad ke dua puluh ini sudah dikenali oleh nenek  moyang kita, oleh karena itulah unsur- unsur dan fenomena alam semesta yang melinkungi kehidupaann mereka menjadi sumber ilham untuk merangkaikan bahasa. Dan dari unsur – unsur itulah lahir dan timbulnya bahasa pertama dan bahasa kedua.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu konsep belajar ?
2.      Apa itu belajar bahasa kedua ?
3.      Apa itu bilingualisme ?
4.      Bagaimana tinjauan historis pembelajaran bahasa kedua ?
5.      Bagaimana pendekatan belajar bahasa kedua ?
6.      Bagaimana metode penelitian dalam akuisisi bahasa kedua?
7.      Apa saja factor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran bahasa kedua ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Belajar
Konsep belajar yang dimaksud adalah konsep belajar berhubungan dengan linguistik. “belajar adalah proses menguasai atau memperoleh pengetahuan atau keterampilan dalam bidang tertentu dengan jalan studi, mencari pengalaman atau karena diajar.”
Belajar didefinisikan sebagai suatu. Belajar bersifat aktifitas dan proses ini berada dalam kesadaran manusia. Itu sebabnya ada orang yang mengatakan bahwa belajar adalah proses sadar yang merupakan hasil dari pengajaran.
B.     Belajar Bahasa Kedua
Yang dimaksud belajar bahasa kedua adalah proses dimana seseorang mengakusisi sebuah bahasa lain setelah lebih dahulu menguasai sampai batas tertentu bahasa pertamanya.
Bagi kondisi di Indonesia, kita perlu membedakan istilah bahasa pertama (asli, ibu, utama/first language) yang terwujud bahasa daerah tertentu. Bahasa kedua (second language) yang terwujud bahasa Indonesia dan bahasa asing.
C.    Bilingualisme
Istilah bilingualisme lebih mengacu kepada suatu kondisi daripada suatu proses. Jika si terdidik atau orang dewasa dapat berbicara dan mengerti bahasa kedua, orang itu dapat kita katakan bilingual. Bilingual lebih tertuju untuk kecakapan berbahasa tertentu. Bilingualisme dapat juga ditafsirkan sebagai kecakapan dua bahasa. (Stern, 1983:14)
Hartley (1982:50) mengatakan bahwa bilingual adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan dua bahasa atau lebih. Biasanya kalau seseorang menguasai lebih dari dua bahasa, digunakan istilah aneka bahasawan (multilingual). Bilingual dapat pula ditekankan pada kebiasaan menggunalkan dua bahasa dengan ciri menghasilkan ujaran-ujaran yang bermakna. Weinreich yang dikutip Hartley (1982:51) menyatakan bilingual yang ideal adalah kemampuan alih bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain berdasarkan perubahan situasi. Misalnya kita berbicara dalam bahasa daerah kita sendiri, tiba-tiba muncul seorang teman yang tidak mengeti bahasa daerah kita. Kita pun segera beralih bahasa, dari bahasa yang digunakan tadi ke bahasa yang dimengerti teman yang baru dating tadi. Peralihan bahasa begini biasanya digunakan istilah alih kode (code switching). Peralihan kode ini memungkinkan karena kita menguasai bahasa yang dimengerti teman yang datang. Seandainya orang yang datang itu orang asing, kemungkinan besar kita tetap menggunakan bahasa daerah.
Kadang-kadang diantara dua bahasa yang dikuasai, ada bahasa yang mendominasi. Dalam kaitan ini Weinreich (Hartley, 1982:51) menawarkan kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat dominasi. Kriteria dimaksud:
1.      secara relatif lancar.
2.      Cara menggunakan, lisan atau tertulis.
3.      Urutan dan umur akuisisi.
4.      Kegunaannya dalam komunikasi.
5.      Keterlibatan secara emosional.
6.      Fungsinya dalam tingkat social.
7.      Nilai budaya yang berkaitan dengan sastra.
Di samping  pengertian bilingualisme yang ditandai oleh kemampuan seseorang dapat beralih bahasa, terdapat pula istilah bilingualisme koordinasi (co-ordinate bilingualism) yang berarti seseorang dapat menggunakan dua bahasa dalam situasi yang berbeda, bukan karena alih kode. Misalnya kita menggunakan bahasa daerah dirumah. Tetapi apabila kita berada di kereta api, kita akan menggunakan bahasa Indonesia. Lain dari itu bisa terjadi seseorang menguasai bahasa ibunya sejak kecil, dan setelah mengikuti pendidikan, ia memperoleh tambahan pengetahuan tentang bahasa lain. Situasi seperti ini disebut bilingual yang majemuk (compound bilingual).
Bilingual yang majemuk terdapat di Indonesia. Seperti diketahui sejak kecil kita menguasai bahasa daerah tertentu. Setelah kita bersekolah kita mendapat pengetahuan tentang bahasa Indonesia. Dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia telah mendominasi komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Kadang-kadang terjadi, kita menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan kata-kata bahasa daerah ataupun sebaliknya. Hal seperti ini membawa kepada variasi bahasa yang disebut bahasa pijin . pengaruh bahasa yang dikuasai terhadap bahasa yang sedang dipelajari sangat kuat. Pengaruh itu sangat terasa apabila seseorang sedang berbicara. Dari performansinya itu, kita dapat menduga asal daerah pembicara.
Ketika kita mempraktekan kemampuan berbahasa lebih dari satu ini, gejala pengaruh yang disebut borrowing dan interferensi tidak dapat dihindari. Sadar atau tidak, kadang-kadang kita menggunakan kata yang tidak berasal dari bahasa kita. Kata-kata itu biasa disebut kata pinjaman atau kata serapan. Kata serapan yang kita gunakan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni :
a.       Pinjam utuh (loanword), yakni kata yang secara utuh diserap, baik bentuk maupun makna, mislanya kata-kata koperasi, demokrasi, figur.
b.      Pinjam bagian (loanblend), yakni bagian kata itu sebagiannya diserap dan sebagian masih tetap bahasa sendiri, sedangkan maknanya diserap, misalnya kata mengoksidasi dari kata oxidatie.
c.       Pinjam terjemah (loanshift), yakni bentuknya kata bahasa sendiri sedangkan maknanya diserap, misalnya kata canggih untuk sophisticate (Bolinger, 1975:421).
Telah disinggung di atas bahwa bahasa pertama berpengaruh pada proses belajar bahasa kedua. Krashen (1981:65-67) menyebut tiga macam pengaruh, yakni:
1.      Pengaruh pada urutan kata dank arena proses menerjemahkan. Hal ini dapat dirasakan ketika untuk pertama kali kita membuat kalimat dalam bahasa Inggris. Kalimat bahasa Inggris kita urutkan seperti urutan bahasa Indonesia, sehingga kalimat tadi menjadi kalimat Inggris yang keindonesia-indonesiaan. Bukti tentang hal ini telah dilaporkan oleh para peneliti, misalnya Duskova (1969) yang mengadakan penelitian tentang kesalahan menulis pada mahasiswa pascasarjana Cekoslowakia, dan LoCoco (1975) yang mengadakan penelitian tentang mahasiswa Amerika yang mempelajari bahasa Spanyol dan Jerman (Krashen, 1981:65). Kedua penelitian ini melaporkan bahwa terdapat bukti pengaruh bahasa ibu terhadap bahasa yang sedang dipelajari.
2.      Pengaruh pada morrfem terikat.
Duskova (1969) yang dikutip oleh Krashen (1981:66) di atas, melaporkan bahwa terdapat pengaruh pada morfem terikat pada bahasa yang dipelajari. Pengaruh ini, misalnya penghilangan penanda jamak pada bentuk jamak, penghilangan kecocokan subjek-kata kerja dan kecocokan antara kata benda-kata sifat. Misalnya 5 books, ditulis 5 book, he writes ditulis he write.
3.      Bahasa pertama rasanya berpengaruh pada lingkungan akuisisi yang lemah. Maksudnya pengaruh itu jarang pada akuisisi bahasa kedua anak-anak.
Seperti telah disinggung di atas persoalan kedwibahasaan (bilingual) tidak mengherankan, bahkan sekarang kira-kira 60% penduduk dunia adalah multibahasawan (multilingual) (Richard & Rogers, 1986, yang dikutip oleh Sadtono, 1987:1). Oleh karena itu persoalan kedwibahasawan di Indonesia merupakan hala yang wajar. Yang perlu dipikirkan yakni bagaimanakah caranya agar pengaruh bahasa ibu tidak nampak  dalam tuturan bahasa kedua, bahasa Indonesia. Selanjutnya yang betul-betul diupayakan yakni bagaimanakah caranya agar si terdidik dengan mudah dan cepat dapat menguasai yang pada akhirnya dapat menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan kaidahnya. Di sini peranan psikolinguistik tidak boleh diabaikan di samping linguistik terapan. Psikolinguistik telah mengakibatkan telaah-telaah baru dalam proses belajar bahasa yang dilihat dari psikologi. Dalam hubungan dengan kedwibahasaan, sumbangan yang dapat diberikan oleh psikolinguistik adalah soal akuisisi yang membahas bagaimanakah caranya agar si terdidik dapat dengan mudah dan cepat menguasai dan menggunakan bahasa yang dipelajari.
D.    Tinjauan Historis
Usaha pembaharuan pengajaran bahasa kedua (di sini dimasukkan pula bahasa asing) muncul akibat keberhasilan tentara AS pada Perang Dunia II yang dalam waktu singkat dapat mengajarkan bahasa yang lain kepada tentara dalam jumlah yang banyak. Dalam A Survey of Language Classes in the Army Specialized Training Program-Prepared for the Comission on Trends in Education of the Modern Language Association of America (Wojowasito, 1975:1) dibicarakan secara singkat tujuan-tujuan, metodologi, organisasi dan hasil-hasil 427 kelas yang mempelajari 17 bahasa dan diikuti oleh 15.000 tentara dan mahasiswa.
            Di dalam kursus itu dirumuskan tujuan pengajaran, yakni dapat berbicara satu bahasa asing atau lebih, mengenal daerah tempat bahasa-bahasa tersebut digunakan, dan memiliki pengetahuan tentang unsur-unsur yang menguntungkan atau membahayakan hubungan/relasi antara tentara dan rakyat yang bergaul dengan rakyat tersebut (Wojowasito, 1975:2). Laporan-laporan menunjukkan bahwa program ini berhasil baik.  
            Akhir abad XIX timbul gerakan pembaharuan dalam pengajaran. Masyarakat menginginkan agar mereka dapat berbicara dalam bahasa kedua (bahasa asing). Muncullah gagasan para ahli pengajaran bahasa asing seperti C. Marcel (1793-1896) dan F. Gouin (1831-1896) keduanya dari Perancis, dan T. Prendergast (1806-1886) dari Inggris. Menurut mereka belajar bahasa asing harus mencontoh cara anak kecil belajar bahasanya sendiri. Mereka mengusulkan agar belajar membaca didahulukan dari belajar keterampilan yang lain (Sadtono, 1987:4).
            Pada tahun 1886 didirikan Perhimpunan Fonetik Internasional (The Internasional Phonetic Association).  Perhimpunan ini menyatakan :
1.      Studi tentang bahasa lisan.
2.      Pelajaran dan latihan fonetik diberikan kepada para siswa agar mereka memiliki kebiasaan ucapan yang baik.
3.      Pemaikan teks percakapan dan dialog untuk memperkenalkan frase dan ungkapan yang biasa dipakai dalam percakapan.
4.      Pendekatan induktif supaya dipakai dalam mengajarkan tata bahasa.
5.      Mengajarkan kosakat baru dan maknanya langsung dengan memakai bahasa sasaran dan tidak memakai terjemahan.
Tersirat di sini bahwa untuk belajar bahasa kedua atau asing, penguasaan terhadap bunyi bahasa, kosakata, dan kaidah penting sekali. Seperti telah dikemukakan, pada awal kelahirannya bayi hanya mendengar bunyi yang berangkai-rangkai. Bunyi-bunyi itu didengarnya berulang-ulang. Ketika ia mendengar bunyi sekaligus ia beroleh pengalaman yang ditunjukkan oleh bunyi. Misalnya, ibu berkata b..u..b..u..r, si bayi mendengar bunyi dan sekaligus melihat benda yang disebut bubur itu. Lama-kelamaan ia memahami bahwa bunyi bubur adalah benda yang ia lihat, yakni bubur. Itu sebabnya perhimpunan di atas sangat mementikan pula bahasa lisan. Hal itu tentu bertitik tolak dari kenyataan. Kenyataan manusia selalu menggunakan bahasa lisan. Kenyataan itu pun mendorong kita untuk lebih dahulu menguasai keterampilan berbahasa lisan. Dengan kata lain keterampilan berbicara yang dipentingkan.
Para ahli berpendapat bahwa pengajaran bahasa harus  didasarkan pada analisis bahasa secara ilmiah dan dengan bantuan disiplin ilmu yang lain, misalnya psikologi. Salah seorang sarjana yang berpendapat demikian adalah Henry Sweet (1845-1912). Metode pengajaran berdasarkan kajian ilmiah di atas membuka kemungkinan baru dalam belajar bahasa secara baru, yakni belajar bahasa secara alamiah. Metode pengajarannya disebut metode alamiah (natural method) yang kemudian berkembang menjadi metode langsung (direct method). Penganjur metode alamiah ini antara lain Gouin (1831-1896) dan L. Saveur (1826-1907). Belajar secara alamiah ini caranya, si terdidik diajak berbicara dalam bahasa kedua dengan jalan menjawab pertayaan sehingga si terdidik aktif berbicara.
E.     Pendekatan Belajar Bahasa Kedua
Hakuta dan Cancino (1977) yang dikutip oleh Hamled (1987:28) membedakan 4 pendekatan agar proses belajar bahasa kedua berhasil. Pendekatan dimaksud adalah :
1.      Analisis Kontrastif dilaksanakan dengan cara membandingkan secara sistematis ciri-ciri linguistik yang spesifik pada dua bahasa atau lebih. Pendekatan analisis kontrastif membandingkan persamaan dan perbedaan yang terdapat di antara dua bahasa atau lebih yang dikontraskan. Analisis kontrastif muncul karena adanya kenyataan si terdidik yang mempelajari bahasa yang bukan bahasa ibunya. Para penganut analisis kontrastif mengasumsikan bahwa bahasa ibu mempengaruhi si terdidik ketika ia mempelajari bahasa kedua (Wilkins, 1972:197).
2.      Analisis kesalahan adalah memusatkan perhatian pada proses belajar bahasa kedua. Analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk mengidentifikasikan, mengklasifikasikan dan menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh si terdidik yang sedang belajar bahasa asing atau bahasa kedua dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur berdasarkan linguistic (Ruru dan Ruru,1985:2).
3.      Analisis perfomansi adalah memusatkan perhatian pada tingkah laku belajar bahasa kedua secara keseluruhan. Pendekatannya bersifat procedural dengan mengajukan pertanyaan, misalnya apa yang boleh dan yang tidak boleh diperbuat oleh si terdidik yang belajar bahasa kedua.
4.      Analisis wacana adalah memusatkan perhatian pada penggunaan bahasa dalam percakapan. Dalam percakapan , bukan kalimat yang dianggap sebagai satuan tertinggi, tetapi wacana, yakni satuan-satuan berupa kalimat yang secara koherensif berisi suatu pesan inti dan beberapa pesan peripheral.
F.     Metode Penelitian dalam Akuisisi Bahasa Kedua
Banyak cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan penelitian tentang proses akuisisi yang terjadi pada anak-anak. Salah satu cara yang dapat digunakan, yakni mengadakan observasi dengan jalan menggunakan buku catatan harian (diary method)  metode ini digunakan untuk anak-anak yang sejak kecil telah hidup dalam dua lingkungan bahasa yang berbeda.  Metode ini banyak digunakan pada anak-anak karena ujaran mereka masih sederhana dan tiruan bunyi bahasa yang mereka lakukan masih bisa dibentuk.
G.    Factor yang Mempengaruhi Pembelajaran Bahasa Kedua
1.      Faktor Usia
Faktor usia memberikan pengaruh berbeda pada fungsi otak dalam menyerap bahasa kedua. Sejumlah penelitian membuktikan anak-anak lebih mudah menyerap bahasa kedua karena memiliki daya plastisitas otak yang baik; di mana mereka mampu menyesuaikan perbedaan bahasa dengan cepat. Namun, penelitian lainnya menyebutkan bahwa orang dewasa mampu menyerap pelajaran bahasa asing lebih cepat dikarenakan kapasitas pembelajaran, termasuk daya hafal kosakata yang lebih banyak. Selain itu orang dewasa juga memiliki daya analisis yang kuat terhadap tata bahasa asing.
2.      Jenis Kelamin
Perbedaan dalam jenis kelamin berhubungan dengan kadar hormon pada masing-masing jenis kelamin. Kimura menemukan tingkat hormon androgen yang tinggi berhubungan dengan kemampuan automasi yang lebih baik, dan hormon estrogen dengan kemampuan semantik/ interpretif yang lebih baik. Selain itu, ia juga menemukan bahwa wanita pada masa menstruasi cenderung memiliki kemampuan artikulasi dan motoris yang lebih baik.
3.      Motivasi
Di dalam otak manusia terdapat area spesifik yang menerima stimulus dari dorongan diri atau disebut motivasi. Dan stimulus tersebut memberikan pesan kepada otak untuk menentukan strategi belajar dan jumlah usaha yang dikeluarkan. Jenis motivasi ada dua: motivasi integratif dan instrumental. Motivasi integratif adalah motivasi yang berdasarkan keinginan untuk bersosialisasi atau berpartisipasi dengan komunitas yang menggunakan bahasa tersebut. Motivasi instrumental adalah motivasi yang didasari atas kepentingan praktis semata seperti mendapatkan pekerjaan, mendapatkan beasiswa ke luar negeri, akses informasi, dan lain-lain.






BAB III
PENUTUP
A.   Simpulan
Ø  Konsep Belajar yang dimaksud adalah konsep belajar berhubungan dengan linguistik. “belajar adalah proses menguasai atau memperoleh pengetahuan atau keterampilan dalam bidang tertentu dengan jalan studi, mencari pengalaman atau karena diajar.”
Ø  Belajar Bahasa Kedua : Yang dimaksud belajar bahasa kedua adalah proses dimana seseorang mengakusisi sebuah bahasa lain setelah lebih dahulu menguasai sampai batas tertentu bahasa pertamanya.
Ø  Istilah bilingualisme lebih mengacu kepada suatu kondisi daripada suatu proses. Jika si terdidik atau orang dewasa dapat berbicara dan mengerti bahasa kedua, orang itu dapat kita katakan bilingual. Bilingual lebih tertuju untuk kecakapan berbahasa tertentu. Bilingualisme dapat juga ditafsirkan sebagai kecakapan dua bahasa.
Ø  Usaha pembaharuan pengajaran bahasa kedua (di sini dimasukkan pula bahasa asing) muncul akibat keberhasilan tentara AS pada Perang Dunia II yang dalam waktu singkat dapat mengajarkan bahasa yang lain kepada tentara dalam jumlah yang banyak.
Ø  Hakuta dan Cancino (1977) yang dikutip oleh Hamled (1987:28) membedakan 4 pendekatan agar proses belajar bahasa kedua berhasil. Pendekatan dimaksud adalah analisis kontrastif, analisis kesalahan, analisis perfomansi dan analisis wacana.
Ø  Metode Penelitian dalam Akuisisi Bahasa Kedua : Banyak cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan penelitian tentang proses akuisisi yang terjadi pada anak-anak. Salah satu cara yang dapat digunakan, yakni mengadakan observasi dengan jalan menggunakan buku catatan harian (diary method)  metode ini digunakan untuk anak-anak yang sejak kecil telah hidup dalam dua lingkungan bahasa yang berbeda. 
Ø  Factor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua yaitu factor usia, factor jenis kelamin, dan factor motivasi.
B.   Saran
   Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.


 DAFTAR PUSTAKA
Saville-Troike, Muriel. 2009. Introducing Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.
Gass, M. Susan, Larry Selinker. 2008. Second Language Acquisition: An Introductory Course. Taylor and Francis Publisher.
Ellis, Rod. 1994. The Study of Second Language Acquisition. Oxford University Press

Thursday, 4 February 2016

Jangan Bersedih ~Tiffany Kenanga

Hasil gambar untuk tiffany kenanga jangan bersedih
mati satu tumbuh seribu
patah hati jangan mengeluh
masih banyak hati yang lain
yang menanti tuk kau singgahi

putus cinta soal biasa
sedihnya jangan lama-lama
nanti kau bisa mati rasa
tegarkan hatimu dan melangkahlah

suatu saat nanti kan kau dapatkan
pujaan hati yang kan kau dambakan
ini semua telah Tuhan rencanakan
jadi jangan bersedih lagi

putus cinta soal biasa (putus cinta soal biasa)
sedihnya jangan lama-lama
nanti kau bisa mati rasa
tegarkan hatimu dan melangkahlah

suatu saat nanti kan kau dapatkan
pujaan hati yang kan kau dambakan
ini semua telah Tuhan rencanakan
jadi jangan bersedih lagi

mungkin dia memang bukan jodohmu
dipaksakan nanti sakit hatimu
pilihan Tuhan pasti jauh terbaik
jadi jangan bersedih lagi

pilihan Tuhan pasti jauh terbaik
jadi jangan bersedih lagi