Sunday, 24 May 2015

MAKALAH TENTANG PENGEMBANGAN KURIKULUM

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kurikulum
Kurikulum berasal dari bahasa latin, yakni “Curriculae”, artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu itu, pengertian kurikulum ialah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dengan kata lain, suatu kurikulum dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu.
Beberapa tafsiran dikemukakan berikut ini:
1)      Kurikulum memuat isi dan materi pelajaran. Kurikulum ialah sejumlah ajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh siswa untuk memperoleh sejumlah pengetahuan.
2)      Kurikulum sebagai rencana pembelajaran. Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa.
3)      Kurikulum sebagai pengalaman belajar. Perumusan atau pengertian kurikulum lainnya yang agak berbeda dengan pengertian-pengertian sebelumnya lebih menekankan bahwa kurikulum merupakan serangkaian pengalaman belajar.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Kurikulum merupakan susunan, bahan kajian, dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan, dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.[1]
Dalam skala yang lebih luas, kurikulum merupakan suatu alat pendidikan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.[2]
Menurut UU No. 2 tahun 1989 kurikulum adalah seperangkat rencana dan peraturan, mengenai isi dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan dalam menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar.
B.     Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum
Sekolah mendapatkan pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat, terutama dari perguruan tinggi dan masyarakat.
1.      Perguruan Tinggi
Kurikulum minimal mendapat dua pengaruh dari perguruan tinggi. Pertama, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Kedua, dari pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru di perguruan tinggi keguruan. Telah diuraikan terlebih dahulu bahwa pengetahuan dan teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum seta proses pembelajaran. Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung penembangan alat bantu dan media pendidikan. Penguasaan ilmu, baik ilmu pendiddikan maupun bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru- guru akan sangat mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah.
2.      Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak untuk kehidupan di masyarakat. Sebagai bagian dan agen dari masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dimana sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
3.      System nilai
Dalam kehidupan masyarakat terdapat system nilai, baik nilai moral, keagamaan, social, budaya, maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembga masyarakat juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan penerusan nilai-nilai. System nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasi dalam kurikulum. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam mengajarkan nilai:
v  Guru hendaknya mengetahui dan memperhatikan semua nilai yang ada dalam masyarakat,
v  Guru hendaknya berpegang pada prinsip demokrasi, etis, dan moral,
v  Guru berusaha menjadikan dirinya sebagai teladan yang patut ditiru,
v  Guru mengharagi nilai-nilai kelompok lain,
v  Memahami dan menerima kebudayaan sendiri.[3]



C.    Langkah-langkah pengembangan kurikulum
Penyusunan dan pengembangan kurikulum dapat menempuh langkah-langkah:
1)      Perumusan tujuan
Tujuan di rumuskan berdasarkan analisis terhadap berbagai kebutuhan, tuntutan dan harapan. Oleh karena itu tujuan di rumuskan dengan mempertimbangkan faktor-faktor masyarakat, siswa itu sendiri serta ilmu pengetahuan.
2)      Menentukan isi
Isi kurikulum merupakan pengalaman belajar yang di rencanakan akan di peroleh siswa selama mengikuti pendidikan. Pengalaman belajar ini dapat berupa mempelajari mata pelajaran-mata pelajaran, atau jenis-jenis pengalaman belajar lain sesuai dengan bentuk kurikulum itu sendiri.
3)      Memilih kegiatan
Organisasi dapat di rumuskan sesuai dengan  tujaun dan pengalaman-pengalaman belajar yang menjadi isi kurikulum, dengan mempertimbangkan bentuk kurikulum yang digunakan.
4)      Merumuskan evaluasi
Evaluasi kurikulum mengacu pada tujuan kurikulum, sebagai di jelaskan di muka. Evaluasi perlu di lakukan untuk memperoleh balikan sebagai dasar dalam melakukan perbaikan, oleh karena itu evaluasi dapat di lakukan secara terus menerus.[4]
           

Langkah-langkah pengembangan kurikulum menurut para ahli, yaitu :
v  langkah pengembangan kurikulum model Rogers.
1)      pemilihan target dari system pendidikan. Didalam penentuan target ini stu-satunya criteria yang menjadi pagangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif.
2)      partisipasi guru dalam pengalaman guru dalam pengalaman kelompok yang intensif.
3)      pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran.
4)      partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok.[5]
v  Langkah – langkah pengembangan kurikulum menurut Tyler :
1.      Menentukan tujuan
Dalam penyusunan suatu kurikulum, merumuskan tujuan merupakan langkah pertama dan utama, sebab tujuan merupakan arah atau sasaran pendidikan.
2.      Menentukan pengalaman belajar
Menentukan pengalaman belajar (learning experiences) adalah aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pengalaman belajar pada aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa, yaitu :
- Pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin di capai.
- Setiap pengalaman belajar harus memuaskan siswa.
- Setiap rancangan pengalaman siswa belajar sebaiknya melibatkan siswa.
- Dalam suatu pengalaman belajar dapat mencapai tujuan yang berbeda.
3.      Pengorganisasian pengalaman belajar
Ada dua jenis pengorganisasian pengalaman belajar, yaitu :
- Pengorganisasian secara vertikal
Pengorganisasian secara vertikal adalah menghubungkan pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat yang berbeda.
- Pengorganisasian secara horisontal
Pengorganisasian secara horisontal adalah menghubungkan pengalaman belajar dalam bidang geografi dan sejarah dalam tingkat yang sama.
4.      Penilaian tujuan belajar sebagai kompponen yang dijadikan perhatian utama
Menurut Beauchamp, ada lima langkah atau pentahapan dalam mengembangkan suatu kurikulum (Beauchamp’s System):
1.      Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut (sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi, negara).
Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam pengembangan kurikulum,serta oleh tujuan pengembangan kurikulum.
2.      Menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum:
a)      para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar
b)      para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih para profesional dalam sistem pendidikan profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Beauchamp mencoba melibatkan para ahli dan tokoh-tokoh pendidikan seluas mungkin, yang biasanya pengaruh mereka kurang langsung terhadap pengembangan kurikulum dibanding dengan tokoh-tokoh lain seperti para penulis dan penerbit buku, para pejabat pemerintah, politisi,dan pengusaha serta industriawan. Penetapan personalia ini sudah tentu disesuaikan dengan tingkat dan luas wilayah arena.
Untuk tingkat propinsi atau nasional tidak terlalu banyak melibatkan
guru. Sebaliknya untuk tingkat kabupaten, kecamatan atau sekolah keterlibatan guru-guru semakin besar.
3.      Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum.
Langkah ini berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, dan dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum. Beauchamp membagi keseluruhan kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu:
a)      membentuk tim pengembang kurikulum.
b)      mengadakan penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang ada yang sedang digunakan studi penjajahan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru.
c)      merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru.
d)     penyusunan dan penulisan kurikulum baru.
4.      Implementasi kurikulum.
Langkah ini merupakan langkah mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh,baik kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, di samping kesiapan manajerial dari pimpinan sekolah atau administrator setempat.
5.      Evaluasi kurikulum.
Langkah ini mencakup empat hal, yaitu:
a)      Evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru
b)      Evaluasi desain kurikulum
c)      Evaluasi hasil belajar siswa
d)     Evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum.
Data yang diperoleh dari hasil kegiatan evaluasi ini digunakan bagi penyempurnaan sistem dan desain kurikulum, serta prinsip-prinsip melaksanakannya. Dalam Buku Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum yang ditulis oleh Prof. Drs. H. Dakir melihat bahwa langkah-langkah pada model Beaucham tersebut yang dikembangkan oleh G.A. Beauchamp (1964) adalah sebagai berikut:
a)      Suatu gagasan pengembangan kurikulum yang telah dilaksanakan di kelas, diperluas di sekolah, disebarkan di sekolah-sekolah di daerah tertentu baik berskala regional maupun nasional yang disebut arena.
b)      Menunjuk tim pengembang yang terdiri atas ahli kurikulum, para ekspert, staf pengajar, petugas bimbingan, dan nara sumber lain.
c)      Tim menyusun tujuan pengajaran, materi dan pelaksanaan proses belajar mengajar. Untuk tugas tersebut perlu dibentuk dewan kurikulum sebagai Koordinator yang bertugas juga sebagai penilai pelaksanaan kurikulum, memilih materi pelajaran baru, menentukan berbagai criteria untuk memilih kurikulum mana yang akan dipakai, dan menulis secara menyeluruh mengenai kurikulum yang akan dikembangkan.
d)     Melaksanakan kurikulum di sekolah.
e)      Mengevaluasi kurikulum yang berlaku.[7]
Beauchamp mengemukakan lima hal dalam mengembangkan suatu kurikulum.
Pertama, menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi, ataupun seluruh Negara.
Kedua, menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut seerta terlibat dalam pengembangan kurikulum.
Ketiga, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Langkah ini berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, dan dalam menetukan keseluruhan dasain kurikulum.
Keempat, implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah mengimplementasikan aatu melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, disamping kesiapan material dari pimpinan dan penulisan kurikulum baru.
Langkah yang ke;lima dan merupakan terakhir adalah evaluasi kurikulum.[8]
Menurut Taba ada lima langkah pengembangan kurikulum model terbalik dari Taba, yaitu :
1.      Membuat unit-unit eksperimen bersama dengan guru-guru :
Dalam kegiatan ini perlu mempersiapkan
·         Perencanaan berdasarkan pada teori-teori yang kuat,
·         Eksperimen harus dilakukan di dalam kelas dengan menghasilkan data yang empiric dan teruji. Unit –unit eksperimen ini harus dirancang melaui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1)      Mendiagnosis kebutuhan. Pada langkah ini, pengembangan kurikulum dimulai dengan  menentukan kebuttuhan-kebutuhan siswa melalui diagnosis tentang berbagai kekurangan (deficiencies), dan perbedaan latar belakang siswa. Tenaga pengajar mengidentifikasi masalah-masalah, kondisi, kesulitan serta kebutuhan-kebutuhan siswa dalam suatu proses pengajaran. Lingkup diagnosis tergantung pada latar belakang program yang akan direvisi, termasuk didalamnya tujuan konteks dimana program tersebut difungsikan.
2)      Merumuskan tujuan khusus. Setelah kebuttuhan-kebutuhan siswa didiagnosis, selanjutnya para pengembang kurikulum merumuskan tujuan. Rumusan tujuan akan meliputi:
·         Konsep atau gagasan yang akan dipelajari
·         Sikap, kepekaan dan perasaan yang akan dikembangkan
·         Cara befikir untuk memperkuat,
·          Kebiasaan dan keterampilan yang akan dikuasai
3)       Memilih isi. Pemilihan isi kurikulum sesuai dengan tujuan meerupakan langkah berikutnya. Pemilihan isi bukan saja didasarkan pada tujuan yang harus dicapai sesuai dengan langkah kedua, akan tetapi juga harus mempertimbangkan segi validitas dan kebermaknaannya untuk siswa.
4)      Mengorganisasi isi. Melalui penyeleksian, selanjutnya isi kurikulum yang telah ditentukan itu disusun urutannya, sehingga tampak pada tingkat atau kelas berapa sebaiknya kurikulum itu diberikan.
5)      Memilih pengalaman belajar. Pada tahap ini ditentukan pengalaman-pengalaman belajar yag harus dimiliki siswa untuk mencapai tujuan kurikulum.
6)      Mengorganisasi pengalaman belajar. Guru selanjutnya menentukan bagaimana mengemas pengalaman-pengalaman belajar yang telah ditentukan itu kedalam paket-paket kegiatan itu, siswa diajak serta, agar mereka memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan belajar.
7)      Menentukan alat evaluasi dan prosedur yang harus dilakukan siswa. Peda penentuan alat evaluasi guru dapat menyeleksi berbagai teknik yang dapat dilakukan untuk menilai prestasi siswa, apakah siswa sudah mencapai tujuan atau belum.
8)      Menguji keseimbangan isi kurikulum. Pengujian ini perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian antara isi, pengalaman belajar, dan tipe-tipe belajar siswa.
2.      Menguji unit eksperimen
Unit yang sudah sudah dihasilkan pada langkah yang pertama harus diujicobakan pada berbagai situasi dan kondisi belajar. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tigkat validitas dan kepraktisan sehingga dapat menghimpun data sebagai penyempurnaan.

3.       Mengadakan revisi dan konsolidasi
Setelah langkah pengujian, maka langkah selanjutnya melakukan revisi dan konsolidasi. Perbaikan dan penyempurnaan dilakukan pada data yang dihimpun sebelumnya. Selain d
dilakukan perbaikan dan penyempurnaan dilakukan juga konsolidasi yaitu penarikan kesimpulan hal-hal yang umum dan tentang konsistensi teori-teori yang digunakan. Langkah ini dilakukan secara bersama-sama dengan coordinator kurikulum maupun ahli kurikulum. produk dari langkah ini adalah berupa teaching learning unit yang telah diuji dilapangan. Pada langkah ini dilakukan pula penarikan kesimpulan (konsolidasi) tentang konsistensi teori yang digunakan. Langkah ini dilakukan bersama oleh koordinator kurikulum dan ahli kurikulum. Bila hasilnya sudah memadai, maka unit-unit tersebut dapat disebarkan dalam lingkup yang lebih luas.
4.       Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum (developing a frame work)
Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang  lebih menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu harus dikaji oleh para ahli kurikulum.
Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab dalam langkah ini.
·         Apakah lingkup isi telah memadai
·         Apakah isi telah tersusun secara logis
·         Apakah pemebelajaran telah memberikan peluang terhadap pengembangan intelektual, keterampilan dan sikap
·          Dan apakah konsep dasar telah terakomodasi
Perkembangan yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan yang berdasarkan pada pertanyaan-pertanyaan apa isi unit-unit yang disusun secara berurutan itu telah berimbang ke dalamnya dan keluasannya, dan apakah pengalaman belajar telah memungkinkan belajarnya kemampuan intelektual dan emosional. Pengembangan ini dilakukan oleh ahli kurikulum dan para professional kurikulum lainnya. Produk dari langkah-langkah ini adalah dokumen kurikulum yang siap untuk diimplementasikan dan didesiminasikan.                                       
5.       Implementasi dan desiminasi
Dalam langkah ini dilakukan penerapan dan penyebarluasan program ke daerah dan sekolah-sekolah dan dilakukan pendataan tetang kesulitan serta permasalahan yang dihadapi guru-guru di lapangan. Oleh karena itu perlu diperhatikan tentang persiapan dilapangan yang berkaitan dengan aspek-aspek penerapan kurikulum. Pengembangan kurikulum realitas dengan pelaksanaannya, yaitu melalui pengujian terlebih dahulu oleh staf pengajar yang profesional. Dengan demikian, model ini benar-benar memadukan teori dan praktek.
Tanggung jawab tahap ini dibebankan pada administrator sekolah. Penerapan kurikulum merupakan tahap yang ditempuh dalam kegiatan pengembangan kurikulum. Pada tahap ini harus diperhatikan berbagai masalah seperti kesiapan tenaga pengajar untuk melaksanakan kurikulum di kelasnya, penyediaan fasilitas pendukung yang memadai, alat atau bahan yang diperlukan dan biaya yang tersedia, semuanya perlu mendapat perhatian dalam penerapan kurikulum agar tercapai hasil optimal. [9]
Menurut Wheeler berpendapat bahwa pengembangan kurikulum teridri dari 5 tahap yaitu:
1.      Mementukan tujuan umum dan tujuan khusus.
Dalam hal ini tujuan umum dapat berupa tujuan yang bersifat normative yang mengandung tujuan filisofis (aim) atau tujuan pembelajaran yang bersifat praktis (goals). Sedangkan yang menjadi tujuan khusus yaitu tujuan yang bersifat spesifik dan observable (objective) yaitu suatu tujuan pembelajaran yang mudah diukur ketercapaiannya.  Dalam pengembangan kurikulum menurut Wheeler penentuan tujuan merupakan tahap awal yang harus dilakukan. Dalam penyusunan suatu kurikulumin, merumuskan tujuan merupakan hal yang harus dikerjakan karena tujuan merupakan arah atau sasaran pendidikan. Tanpa ada tujuan maka apa yang ingin di capai akan menjadi tidak.
Alasan alasan yang mendasar mengenai pentingnya perumusan suatu tujuan adalah:
·         Tujuan  berkaitan erat dengan  arah dan sasaran yang harus dicapai oleh dunia  pendidikan. Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, denagn demikian salah satu komponen penting yang harus ada dalam suatu perencanaan kurikulum adalah tujuan itu sendiri.
·         Tujuan kurikulum dapat membantu pengembang kurikulum dalam mendesain suatu model kurikulum. Melalui tujuan yang jelas, maka dapat membantu para pengembang kurikulum dalam mendesain model kurikulum yang dapat digunakan bahkan akan membantu guru dalam mendesain sistem pembelajaran. Maksudnya disini adalah dengan tujuan yang jelas dapat memberikan arahan kepada guru dalam menentukan bahan atau materi yang harus dipelajari, menentukan metode dan strategi pembelajaran yang akan digunakan, menentukan alat, media, dan sumber pembelajaran, serta bagaimana cara merancang alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan belajar siswa.
·         Tujuan dapat digunakan sebagai control dalam menentukan batas batas serta kualitas pembelajaran. Dengan adanya tujuan kurikulum yang jelas dapat digunakan sebagai kontrol dalam menentukan batas-batas dan kualitas pembelajaran. Artinya, melalui penetapan tujuan, para pengembang kurikulum termasuk guru dapat mengontrol sampai mana siswa telah memperoleh kemampuan-kemampuan sesuai dengan tujuan dan tuntutan kurikulum yang berlaku. Lebih jauh dari itu dengan adanya tujuan akan dapat ditentukan daya serap siswa dan kualitas suatu sekolah.
2.      Menentukan pengalaman belajar yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam dalam langkah pertama. Yang dimaksud dengan pengalaman belajar disini adalah  segala aktivitas siswa dalam berinteraksi denagn lingkungan. Menentukan pengalaman belajar merupakan hal yang penting untuk materi - materi yang sesuai dalam proses pembelajaran.
3.      Menentukan isi dan materi pelajaran sesuai dengan pengalaman belajar
Tahap ketiga dalam pengembangan kurikulum menurut Wheeler adalah penentuan isi dan materi pelajaran. Penentuan isi dan materi pelajaran ini di dasarkan atas pengalaman belajar yang di alami oleh peserta didik, pengalaman belajar yang dialami oleh peserta didik dijadikan suatu acuan dalam penyusunan materi ajar.langkah langkah pengorganisasian merupakan hal yang sangat penting karena dengan pengorganisasian yang jelas akan memberikan arah bagi pelaksanaan proses pembelajaran sehingga menjadi pengalaman belajar bagi pelaksanaan proses pembelajaran sehingga menjadi pengalaman belajar yang nyata bagi siswa.
4.      Mengorganisasi atau menyatukan pengalaman belajar dengan isi atau materi pelajaran. Setelah materi ajar disusun maka dilakukan penyatuan antara pengalaman belajar dengan materi ajar yang telah disusun, hal ini bertujuan agar terjadi hubungan atau kesinambungan antara pengalaman belajar dengan materi ajar. Sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan naik sehingga hasil yang diperoleh pun dapat maksimal.
5.      Melakukan evaluasi setiap fase pengembangan dan pencapaian tujuan. Disini setelah proses pembelajaran selesai akan dilaksanakan suatu proses evaluasi. Dalam proses pengembangan kurikulum ini tahap evaluasi merupakan tahap yang sangat penting, hal itu karena proses penilaian atau evaluasi dapat memberikan informasi tentang ketercapaian daripada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini maka akan dapat diketahui apakah kurikulum yang diterapkan itu berjalan denagn baik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah tersebut.secara rinci dapat dikatakan bahwa Evaluasi bertujuan untuk menggumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan penentuan keputusan mengenai kurikulum apakan kurikulum itu masih bisa berlaku atau harus di perbaharui atau digamti lagihal itu terjadi karena  evaluasi suatu  kurikulum dapat memberikan  informasi mengenai kesesuaian, efektifitas dan efisiensi  kurikulum terhadap tujuan yang ingin dicapai dan penggunaan sumber daya,yang mana informasi ini akan sangat berguna sebagai bahan pembuat keputusan  apakah kurikulum tersebut masih dijalankan tetapi perlu revisi atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka  penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar yang berubah.
Berdasarkan dari langkah- langkah pengembangan kurikulum yang dikemukakan oleh Wheeler terlihat bahwa pengembangn kurikulum itu berbentuk sebuah siklus (lingkaran) yang mana pada setiap tahapa dalam siklus tersebut membentuk suatu system yang terdiri dari komponen- komponen pengembangan yang saling berhubungan satu sama lain.[10]






[1] Dr. Oemar Hamalik.2005.Kurikulum dan Pembelajaran.Jakarta:Bumi Aksara.hal 16-18.
[2] Dr. Oemar Hamalik.2005.Kurikulum dan Pembelajaran.Jakarta:Bumi Aksara.hal 24.
[3] Prof.Dr.Nana Syaodih Sukmadinata.2002.Pengembangan Kurikulum teori dan Praktek.Bandung: PT Rosda Karya.hal158-160.

[4] Drs.H.Mohammad Ali M.Pd,M.A.1992.Pengembanhan Kurikulum di Sekolah.Bandung:Sinar Baru.hal    66-67.
[5] Prof Dr. Nana Syaodih Sukmadinata.2002.Pengembangan kurikulum teori dan praktek.Bandung:PT remaja rosdakarya.hal167-168.

PANDANGAN ISLAM TENTANG ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN BARAT (NATURALISME, EMPERISME dan BEHAVIORISME/LINGKUNGAN)

BAB II
Pembahasan
A.    Pandangan Islam terhadap Aliran Naturalisme
Aliran nativisme hampir sama dengan aliran naturalisme. Nature artinya alam ataupun yang dibawa sejak lahir. Aliran ini berpendapat bahwa pada dasarnya semua anak ( manusia ) adalah baik. Meskipun aliran ini percaya dengan kebaikan awal manusia. Aliran ini tidak menafikkan dan pengaruh lingkungan atau pendidikan. Pendidikan yang baik akan mengantarkan terciptanya manusia yang baik. Sebaliknya pendidikan dan lingkungan yang jelek akan berakibat manusia menjadi jelek juga. Filsuf Perancis J.J Rouseau (1712-1778) berpendapat bahwa:
a.       Sejak lahir anak sudah memiliki pembawaan sendiri-sendiri, baik bakat, minat, kemampuan, sifat, watak, maupun pembawaan lainnya.
b.      Pembawaan itu akan berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungannya.
c.       Semua yang baik dari tangan sang pencipta, dan semua menjadi buruk di tangan manusia.
 J.J Rouseau sebagai tokoh aliran ini mengatakan, “semua anak adalah baik pada dilahirkan, tetapi menjadi rusak di tangan manusia”. Oleh karena itu dia mengajukan pendapat agar pendidikan anak menggunakan sistem “pendidikan alam”. Artinya anak hendaklah di biarkan tumbuh dan berkembang menurut alamnya. Manusia dan masyarakat jangan terlalu mencampurinya.[1]

B.     Pandangan Islam terhadap Aliran Emperisme
Aliran emperisme berlawanan dengan aliran nativisme. Kalau dalam nativisme pembawaan atau keturunan menjadi faktor penentu yang mempengarui perkembangan manusia, maka dalam emperisme yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah lingkungan dan pengalaman pendidiknya.
Aliran emperisme yaitu suatu aliran yang menganggap bahwa manusia itu dalam hidup dan perkembangan pribadinya semata-mata ditentukan oleh dunia luar. Sedangkan pengaruh-pengaruh dari dalam (faktor keturunan) dianggapnya tidak ada. Misalnya: suatu keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis. Segala alat diberikan dan guru-guru yang ahli di datangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat melukis pada anak itu tidaka ada.[2]
Tokoh utama aliran ini adalah Jhon Locke (1632-1704) dengan gagasan awalnya mendirikan “The school of british empericism” (aliran emperisme inggris). Sekalipun aliran ini bermarkas di Inggris tetapi pengaruhnya sampai di Amerika Serikat sehingga melahirkan aliran “environmental psychology” (psikologi lingkungan, 1988).[3]
Secara eksplisit aliran emperisme menekankan bertapa peran lingkungan dan pengalaman pendidikan sangat besar dalam mengubah atau mengembangkan manusia dan setiap anak bisa di bentuk sesuai dengan kepentingan dan arah lingkungan.
Doktrin mendasar yang masyur dalam aliran emperisme adalah teori “tabula rasa”, sebuah istilah latin yang berarti batu tulis kosong (blank slate/blank tablet). Doktrin tabula rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan dan pendidikan. Dalam arti perkembangan manusia tergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya.
Dalam hal ini, para penganut emperisme menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa anak kelak tergantung pada pengalaman/lingkungan yang mendidiknya. Nabi Muhammad SAW: bersabda “semua anak dilahirkan dalam keadaan suci, ibu dan bapaknya yang akan menentukan apakah anak tersebut akan menjadi Yahudi,Nashrani atau Majusi” (HR. Bukhari).
Bagi aliran ini, pembentukan moral dan perilaku manusia akan sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Lingkungan yang baik (bermoral) tempat dimana anak-anak melakukan interaksi akan terpengaruh pada terciptanya anak-anak yang berperilaku dan bermoral baik. Demikianpula lingkungan yang baik akan menciptakan anak-anak yang bermoral tidak baik.
Kaum Behavioris sependapat dengan kaum Empiris itu. Sebagain contoh kami kemukakan disini kata-kata Watson, behavioris tulen dari Amerika: “berilah saya sejumlah anak-anak yang baik keadaan badannya dan situasi-situasinya yang saya butuhkan. Setiap anak tersebut, entah yang mana, akan saya jadikan dokter, pedagang, ahli hukum, atau jika dikehendaki jadi pengemis atau pencuri”.[4]
Aliran emperisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada lingkungannya, sedangkan pembawaan tidak dipertimbangkan sama sekali. Tokoh aliran emperisme ini adalah filsuf Inggris yang bernama John Locke (1704-1932) yang mengemukakan tentang teori tabularasa, yakni:
a.       Segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap manusia dalam perkembangannya ditentukan oleh pengalaman (empiri).
b.      Lingkungan membentuk perkembangan manusia atau anak didik.
c.       Lingkungan 100% menentukan perkembangan manusia.
d.      Anak yang lahir tidak membawa apa-apa, ia bagaikan kertas kosong.



C.    Pandangan Islam terhadap Aliran Behaviorisme (lingkungan)
Aliran behaviorisme ini memandang bahwa manusia dilahirkan bagaikan sebuah kertas putih yang tidak ada tulisan apapun. lingkunganlah yang mengisi bentuk dan corak dari kertas tersebut. Berdasarkan pandangan ini kaum behavioris berpendapat bahwa manusia dalam kehidupannya akan berkembang sesuai dengan stimulus yang diterima dari lingkungannya.
Harus diakui bahwa lingkungan sedikit-banyak dapat mempengaruhi perilaku manusia, hal tersebut sebagaimana sabda Rasulallah saw :
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟  (رواه البخاري)
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?”(H.R Bukhari)
Berdasarkan pemahaman hadits tersebut di atas, ada hal yang dinafikan oleh aliran behaviorisme, yakni fitrah (potensi) yang ada pada tiap individu. Kenyataanya, manusia lahir dengan potensi ciri khasnya sendiri yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan inilah yang dilupakan oleh kaum behavioris. Hasan Langgulung mengartikan fitrah tersebut sebagai potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi tersebut merupakan suatu keterpaduan yang tersimpul dalam Asma’ul Husna. Batasan tersebut memberikn arti, misalnya sifat Allah Al-Ilmu “maha mengetahui” maka manusia pun memiliki potensi untuk bersifat mengetahui dan begitu juga semuanya. Akan tetapi kemampuan manusia tentu saja berbeda dengan Allah. Hal ini disebabkan karena berbeda hakikat diantara keduanya. Allah memilki sifat kemaha sempurnaan sedangkan manusia memiliki sifat keterbatasan. Keterbatasan itulah yang menyebabkan manusia membutuhkan pertolongan dan bantuan untuk memenuhi segala kebutuhan. Keadaan ini menyadarkan manusia tentang ke-Esaan Allah, sehingga inilah letak fitrah beragama manusia sebagai manifestasi memenuhi kebutuhan rohaniahnya.
Kritik yang dapat disampaikan adalah adanya kecenderungannya untuk mereduksi nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini terlihat cara kaum behavioris memperlakukan seorang anak. Mereka beranggapan bahwa seorang anak berperilaku (memberikan respon) sesuai dengan stimulus yang diberikan. Ini bararti dianggap sebagai sebuah mesin sehingga teorinya bersifat mekanistis.
Sementara Istilah kognitif adalah merujuk kepada suatu proses kemampuan berfikir  manusia untuk mengenali dan menenmukan informasi sama ada yang bersumber dari dalam manusia maupun yang bersumber dari luar manusia atau faktor lingkungan.
Kemampuan berfikir merupakan salah satu potensi yang ada pada diri manusia. Menurut Ibn Taimiyah sebagaimana disitir Juhaja S. Praja pada diri manusia juga memiliki setidaknya tiga potensi fitrah yaitu:
Ø  Daya intelektual (quwwat al-al-‘aql) yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
Ø  Daya ofensif (quwwat al-syahwat) yaitu potensi yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi objek-objek yang menyenangkan dan bermamfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
Ø  Daya defensif (quwwat al-ghaddab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.
Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalampikiran peserta didik. Berdasarkan suatu teori belajar, suatu pembelajaran diharapkan dapat lebih meningkatkan perolehan peserta didik sebagai hasil belajar (Trianto, 2007: 12). Teori belajar juga dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang terkait dengan peristiwa belajar. Di antara sekian banyak teori belajar itu antara lain teori belajar behavioristik.
Pelopor aliran behaviorisme ini adalah John Broadus Watson. Melalui studi eksperimental, Watson menjelaskan konsep kepribadian dengan mempelajari tingkah laku manusia yang mengacu pada konsep stimulus – respons.
Aliran behaviorisme ini menolak pandangan dari aliran pendahulunya, yaitu aliran psikoanalisa yang memandang bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh insting tak sadar dan dorongan-dorongan nafsu rendah. Aliran behaviorisme ini lebih memandang aspek stimulasi lingkungan yang dapat membentuk perilaku manusia dengan sesuka hati lingkungan eksternal itu. Aliaran behaviorisme ini mengganti konsep kesadaran dan ketidaksadaran ala psikoanalisa dengan istilah stimulus, response, dan habit. Stimulus selanjutnya dimaknakan sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasi atau direkayasa lingkungan sebagai upaya membentuk perilaku manusia melalui respons yang muncul sebagaimana yang diharapkan lingkungan, sedangkan habit adalah hasil pembentukan perilaku tersebut (Koesma, 2000: 56).
Ivan Pavlov (1849-1936), ahli psikologi Rusia, meletakkan suatu tahapan penting bagi psikologi behavioris lewat kajiannya tentang reaksi refleks. Pavlov menuliskan bahwa ia dapat mengkondisikan anjing-anjing keluar air liur dengan membunyikan sebuah bel, jika anjing tadi sebelumnya telah dilatih untuk menghubungkan suara bel dengan tersediany makanan. Bapak behaviorisme modrn, John B. Watson (1878-1958), senada dengan pavlov, menegaskan bahwa tingkah laku manusia adalah dari refleks-refleks yang terkondisikan.[5]













BAB III
PENUTUP

         A.  S IMPULAN
1.      Aliran nativisme hampir sama dengan aliran naturalisme. Nature artinya alam ataupun yang dibawa sejak lahir. Aliran ini berpendapat bahwa pada dasarnya semua anak ( manusia ) adalah baik. Meskipun aliran ini percaya dengan kebaikan awal manusia. Aliran ini tidak menafikkan dan pengaruh lingkungan atau pendidikan. Pendidikan yang baik akan mengantarkan terciptanya manusia yang baik. Sebaliknya pendidikan dan lingkungan yang jelek akan berakibat manusia menjadi jelek juga.
2.      Aliran emperisme yaitu suatu aliran yang menganggap bahwa manusia itu dalam hidup dan perkembangan pribadinya semata-mata ditentukan oleh dunia luar. Sedangkan pengaruh-pengaruh dari dalam (faktor keturunan) dianggapnya tidak ada. Misalnya: suatu keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis. Segala alat diberikan dan guru-guru yang ahli di datangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat melukis pada anak itu tidaka ada.
3.      Aliran behaviorisme ini memandang bahwa manusia dilahirkan bagaikan sebuah kertas putih yang tidak ada tulisan apapun. lingkunganlah yang mengisi bentuk dan corak dari kertas tersebut. Berdasarkan pandangan ini kaum behavioris berpendapat bahwa manusia dalam kehidupannya akan berkembang sesuai dengan stimulus yang diterima dari lingkungannya.



b     B. SARAN
1.      Dalam proses pendidikan seharusnya pendidik tidak berorientasi pada salah satu aliran diatas. Akan tetapi berusaha menggabungkan ketiga aliran tersebut dengan tetap memohon hidayah Allah demi keberhasilan pendidikan.
2.      Bagi peserta didik tidak boleh menjadikan salah satu aliran diatas menjadi alasan untuk tidak mau belajar dan berusaha.









DAFTAR PUSTAKA

Al-Syaibani, Omar M. Al-Toumy., Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1997.h. 138
Ahmadi, Abu. Drs.H., Ilmu Pendidikan. Jakarta : PT Rineka Cipta,2007. h.293
Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan dan Praktis. Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1988.h.59
Suardi, Moh., Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT Indeks, 2012.h. 43
R.Knight, George, Fisafat Pendidikan.yogyakarta : Gama Media, 2001. h.195



[1] Omar M. al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 138
[2] Drs. H. Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan (cet II; Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 293
[3] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan dan Praktis, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1988), h. 59   
[4] Moh. Suardi, Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi,(Jakarta: PT Indeks, 2012), h. 43


[5] George R. Knight, Fisafat Pendidikan, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), h. 195